Tuesday, May 29, 2012

Lingkungan Hidup

Bab I
Pendahuluan
Perkembangan pembangunan, teknologi, industrialisasi dan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat tak pelak lagi semakin memperbesar resiko kerusakan lingkungan. Karenanya, upaya pelestarian dan perlindungan seyogyanya juga harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga tetap mampu mewadahi dan mengakomodir kebutuhan akan lingkungan hidup yang sehat.
Kecenderungan pembangunan dibawah globalisasi untuk menjadi the development that meet the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own need atau pembangunan yang tidak berkelanjutan, tampaknya harus segera mendapatkan perhatian serius tidak hanya dari pakar dan pemerhati lingkungan belaka, tetapi juga harus melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses monitoring dan control terhadap pelestarian lingkungan.
Perhatian yang serius itu semakin diperlukan terlebih dalam beberapa kasus pembangunan, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indnesia, cenderung bermetamorfosa menjadi the development thet seek the economic profit for the present without compromising the right of the people to get the good and clean environment atau pembangunan yang mengejar keuntungan ekonomis tanpa memperhitungkan akibat atau dampak yang dapat merusak dan merampas hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik dan bersih.
Persoalan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup tentu saja tidak dapat serta merta diserahkan pada kesadaran masing-masing individu anggota masyarakat maupun kepada badan-badan hukum semata. Instrumen hukum sebagai salah satu strategi pengelolaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan, dalam kajian Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum harus pula dekembangkan sehingga mampu mewadahi kepentingan masyarakat banyak akan lingkungan yang sehat, nyaman dan bersih.

Bab II
Intensitas dan Kompleksitas Masalah
A. Aspek Hukum Administrasi Negara
Pada tahap “pengawasan ketaatan” dilaksanakan oleh Menteri, wewenang ini selanjutnya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah (Pasal 22 UUPLH 1997), baik kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, maupun kepada Bupati/Walikota Madya/ kepala Dati II. Selanjutnya Pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa selain wewenang pengawasan, Pemda juga berwenang melakukan paksaan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk:
1. Mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran;
2. Menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran;
3. Melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/ atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Dengan demikian upaya dalam aspek hukum administrasi negara dapat bersifat preventif dan represif. Aspek administratif yang bersifat preventif berupa pengawasan bertujuan untuk menegakkan hukum lingkungan dengan ancaman sanksi administratif. Upaya yang bersifat preventif ini dapat dilakukan pada saat:
(a) persyaratan perizinan;
(b) baku mutu lingkungan;
(c) rencana pengelolaan lingkungan, dan lain sebagainya.

Namun perlu untuk diperhatikan bahwa dalam rangka penegakan hukum lingkungan, perlu upaya kemudahan-kemudahan dari pemerintah, misalnya keringanan bea masuk alat-alat pengelolaan limbah, kemudahan kredit bank bagi biaya pengelolaan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Selanjutnya aspek hukum administrasi negara yang bersifat represif, menyangkut
penindakan terhadap pelanggaran hukum lingkungan yang bertujuan untuk mengakhiri pencemaran/ perusakan lingkungan. Pemaksaan pemerintah terhadap penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan dapat dilakukan dengan sanksi administratif, antara lain berupa:
(a) paksaan pemerintah (Pasal 25 ayat 1-4);
(b) pembayaran sejumlah uang (Pasal 25 ayat 5);
(c) pencabutan izin usaha dan/ atau kegiatan (pasal 27);
(d) audit lingkungan hidup.

B. Aspek hukum perdata
Dalam aspek hukum perdata, pencemar dan/ atau perusak lingkungan wajib membayar ganti rugi dan/ atau melakukan tindakan tertentu (Pasal 34 UUPLH 1997). Pada saat melakukan tindakan tertentu tersebut, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu itu.
Seperti telah disadari bahwa akibat terbesar dari pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan, umumnya tidaklah secara langsung dipikul oleh manusia, tetapi oleh lingkungan itu sendiri. Baru kemudian nantinya mengena pada manusia sebagai akibat ketidakmampuan lingkungan mendukung kehidupan manusia di alam.
Penyelesaian sengketa dalam aspek hukum perdata berupa ganti rugi umumnya didasarkan atas:
a. Tidak dipenuhinya kewajiban perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1243 KUH Perdata;
b.Perbuatan melawan hukum, sebagaimana tercantum dalam pasal 1365 KUH Perdata.

Pada kasus perdata, prinsip yang digunakan pada umumnya adalah “liability based on fault”. Prinsip ini mensyaratkan proses pembuktian kesalahan dari pencemar dibebankan pada korban pencemaran/ penggugat. Dengan demikian penggugat baru akan memperoleh ganti rugi jika ia berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan dari pihak pencemar/tergugat. Kesalahan merupakan unsur yang menentukan pertanggungjawaban, dengan demikian jika tidak terbukti bersalah, maka tidak ada kewajiban membayar ganti kerugian.
Sedangkan bagi usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kewajibannya menimbulkan:
(a) dampak besar dan penting terhadap lingkungan;
(b) menggunakan bahan berbahaya dan beracun; dan/ atau
(c) menghasilkan limbah B3.

maka seluruh usaha dan kegiatan ini bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkannya.
Selanjutnya penjelasan Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa tanggung jawab mutlak atau strict liability berarti unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh penggugat. Tanggung jawab mutlak ini merupakan “lex specialis” dari perbuatan melanggar hukum pada umumnya, yaitu liability based on fault. Dengan demikian prinsip tanggung jawab mutlak tidak diperlakukan secara umum pada semua kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup.
Tanggung jawab mutlak tidak berlaku jika pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup terjadi disebabkan oleh:
(a) adanya bencana alam atau peperangan;
(b) adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; dan
(c) tindakan pihak ketiga.

C. Aspek Hukum Pidana
Pasal 41 UU No. 23 Tahun 1997 mengisyaratkan bahwa pidana penjara dan denda dapat dikenakan secara bersamaan bagi pencemar dan/ atau perusak lingkungan hidup, baik secara melawan hukum atau sengaja, maupun karena kealpaan. Namun perlu dikemukakan bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan dengan memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu jika:
1. Sanksi bidang hukum lain, yakni sanksi administratif, dan sanksi perdata serta upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tidak efektip.
2. Tingkat kesalahan pelaku relatif berat;
3. Akibat perbuatannya relatif besar; dan
4. Perbuatannya menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Diutamakannya sanksi perdata dibanding dengan sanksi pidana merupakan hal yang wajar mengingat “akibat” yang ditimbulkan dari suatu pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup.

Bab III
Latar Belakang
Tujuan utama pengelolaan lingkungan hidup antara lain adalah terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu perencana kegiatan sejak awal sudah harus memperkirakan perubahan rona lingkungan akibat pembentukan suatu kodisi yang merugikan akibat diselenggarakannya pembangunan.
Tidak dapat dipungkiri, setiap kegiatan pembangunan, dimana pun dan kapan pun pasti akan menimbulkan dampak. Dampak disini dapat bernilai positif yang berarti memberi manfaat bagi kehidupan manusia, dan dapat berarti negatif yaitu timbulnya risiko yang merugikan masyarakat.
Dampak positif pembangunan sangatlah banyak, di antaranya :
1. meningkatnya kemakmuran dan eksejahteraan rakyat secara merata;
2. meningkatnya pertumbuhan ekonomi secara bertahap sehinga terjadi perubahan struktur ekonomi yang lebih baik, maju, sehat dan seimbang
3. meningkatnya kemampuan dan penguasaan teknologi yang akan menumbuhkembangkan kemampuan dunia usaha nasional;
4. memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan kemampuan berusaha; dan
5. menunjang dan memperkuat stabilitas nasional yang sehat dan dinamis dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional (Soemartono, 1996 : 133).

Demikian pula dampak positif pembangunan terjadap lingkungan hidup, misalnya terkendalinya hama dan penyakit, tersedianya air bersih, terkendalinya banjir, dan lain-lain; sedangkan dampak negatif akibat kegiatan pembangunan terhjadap lingkungan, yang sangat menonjol adalah masalah pencemaran.
Pengertian pencemaran lingkungan hidup berdasarkan ketentutan pasal 1 ayat 12 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPLH”) adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkunga hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran agar pelaksanaan pembangunan dapat mencapai sasaran yang telah digariskan.
Dalam konteks ini, pembangunan bidang lingkungan hidup hanya dapat berhasil apabila pelaksanaan dan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan dalam bidang lingkungan hidup, berjalan dan ditegakkan secara efektif dimana salah satu unsur yang sangat penting dalam kaitan ini adalah penerapan Tanggung Jawab Mutlak terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup.
Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Pengertian “Strict Liability” dinyatakan dalam Black’s Law Dictionary Seventh Edition, halaman 926 sebagai berikut :
Strict Liability Liability that does not depend on actual negligence or intent to harm, but that is based on the breach of an absolute duty to make something safe.
Pasal 35 UUPLH menyatakan sebagai berikut :

1. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan bebahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beacun, bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saa terjadinya pencemaran da/atau perusakan lingkungan hidup.

2. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh salah sat alasan di bawah ini :
1. a. adanya bencana alam atau peperangan; atau
2. b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
3. c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

3. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggungjawab membayar ganti rugi.
Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UPLH menyatakan sebagai berikut :
Pengertian bertanggungjawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayar ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau lebih tersedia dana lingkungan hidup.
Asas Tanggung jawab Mutlak (strict liability) telah diperkenalkan sejak pertengahan abad ke 19 seiring dengan perkembangan industrialisasi sekurang-kurangnya untuk beberapa macam kasus, yang sebagian besar adalah berkaitan dengan risiko lingkungan. Hal tersebut dipicu oleh meningkatnya risiko yang ditimbulkan industrialisasi serta semakin rumitnya hubungan sebab akibat.

Lummert (dalam Hardjasoemantri, 1999 : 387) mengemukakan bahwa konsep tanggung jawab mutlak diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak adalah tidak adanya persyaratan tentang perlu adanya kesalahan.
Asas Tanggung jawab Mutlak tersebut sangat berseberangan dengan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata yang menekankan tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan (liability based on fault).
Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Selain ketentuan pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim digunakan dalam penyelesaian ganti kerugian adalah ketentuan pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Sangat jelas bahwa prinsip yang digunakan dalam kedua pasal tersebut di atas, adalah “liability based on fault” dengan beban pembuktian yang memberatkan penderita, karena penderita atau korban baru akan memperoleh ganti kerugian jika ia berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Kesalahan disini merupakan unsur yang menentukan pertanggungjawaban, sehingga apabila unsur kesalahan tidak dapat dibuktikan, maka tidak ada kewajiban bagi pelaku untuk memberi ganti kerugian.
Fenomena penekanan pada tanggung jawab mutlak dalam UUPLH setidaknya menggambarkan pula bahwa teori hukum telah meninggalkan konsep “kesalahan” dan berpaling kepada konsep “risiko” dalam bidang lingkungan hidup.
James E. Krier (dalam Hardjasoemantri, 1999 : 387) mengemukakan bahwa doktrin tanggung jawab mutlak dapat merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus lingkungan, karena banyak kegiatan-kegiatan yang menurut pengalaman menimbulkan kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan-tindakan yang berbahaya, untuk mana dapat diberlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan.
Hal lain yang terkait erat dengan asas Tanggng jawab Mutlak adalah beban pembuktian (burden of proof). Salah satu kriteria tradisional yang menentukan pembagian beban pembuktian adalah pertimbangan yang menyatakan bahwa beban pembuktian seyogyanya diberikan kepada pihak yang mempunyai kemampuan besar untuk memberikan bukti tentang sesuatu hal. Dalam konteks kerusakan atau pencemaran lingkungan oleh industri, maka jelas perusak atau pencemar dalam hal ini industri, mempunyai kemampuan lebih besar untuk memberikan pembuktian.
Dengan adanya pembalikan pembuktian tersebut, maka masalah beban pembuktian tidak merupakan masalah atau rintangan bagi penderita atau pencinta lingkungan hidup untuk tampil sebagai penggugat di pengadilan dalam kasus-kasus pencemaran, karena adalah tanggung jawab dari tergugat untuk membuktikan bahwa kegiatan-kegiatannya yang mengandung risiko tidak mempunyai akibat-akibat yang berbahaya atau menimbulkan gangguan (pencemaran atau perusakan).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa penerapan tanggung jawab mutlak adalah sejalan dengan pergeseran orientasi hukum dan pengelolaan lingkungan dari “use oriented” ke arah “environment oriented” serta sejalan pula dengan semangat “precautionary principles”. 

Bab IV
Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat
konflik struktural sering menjadi penyebab terjadinya konflik lingkungan/SDA. Konflik ini berpangkal pada adanya ketimpangan sosial, ekonomi dan politik antara para pihak, termasuk dalam akses terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Terkait dengan SDA, secara umum terdapat beberapa hal yang menjadi faktor rentan konflik, yakni:
1. SDA bersifat dependent dan keterpautan, artinya adanya ketidakseimbangan satu komponen akan berakibat pada komponen yang lain. Demikian juga perubahan disuatu lokasi akan meningkatkan akibat ditempat lain.
2. SDA pada dasarnya bersifat terbatas dan bersifat langka (scarcity), sedangkan disi lain kebutuhan dan permintaan akan selalu meningkat. Untuk itulah akan terjadi persaingan antar pihak yang berkepentingan terhadap SDA tersebut.
3. SDA digunakan masyarakat dengan cara yang ditentukan oleh budaya dan latar belakangnya. Orang berkompetisi terhadap lahan, hutan dll bukan hanya sebagai
4. sumber ekonomi tetapi juga bagian dari cara hidupnya/budaya

1. Konflik kebijakan pengelolaan
Konflik pada tingkatan ini merupakan konflik yang berada pada tataran regulasi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Banyak konflik lingkungan yang timbul sebagai akibat dari adanya kebijakan yang kabur (tidak jelas), adanya kebijakan yang tumpang tindih antara pusat dan darerah serta adanya tumpang tindih kebijakan lama dan kebijakan yang baru. Bagaimana mungkin melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik apabila pada tingkatan regulasi saja sudah terdapat berbagai tumpang tindih regulasi. Bercermin pada hal ini, diharapkan kepada pihak pemerintah, khususnya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota agar dapat mensinergiskan berbagai kebijakan maupun regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga antar kebijakan maupun peraturan dapat saling mendukung, baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara kebijakan yang telah lama dengan kebijakan yang baru.

2. Konflik kewenangan dan peran
Konflik ini biasanya muncul sebagai akibat dari adanya tarik menarik peran antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Banyak terdapat sistem pelaksanaan yang mengakibatkan munculnya tarik menarik peran. Hal ini didukung seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah. Di satu sisi, pihak pemerintah daerah merasa memiliki peran wewenang yang lebih besar dibandingkat pemerintahan pusat. Sementara disisi lain pemerintah pusat mengklaim bahwa peran dan wewenang tersebut berada di tangan mereka.

3. Konflik yang terkait terhadap isu-isu di level grass root
Pada tingkatan ini, konflik biasanya terjadi seputar permasalahan hak ulayat, proverty dan disparitas dalam pengelolaan lingkungan. Di satu sisi masyarakat merasa memiliki lingkungan sekitarnya yang merupakan hak turun temurun dari leluhur mereka sementara di sisi lain mereka tidak memiliki bukti-bukti / legalitas secara hukum. Konflik yang timbul pada tingkatan ini nantinya akan menimbulkan suatu konflik yang bersifat struktural. Terdapat berbagai konsep yang dapat menjelaskan penyebab timbulnya konflik lingkungan. Tentu saja untuk mengidentifikasinya kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana kondisi dan latar belakang sosial yang ada. Terdapat enam hal yang menjadi penyebab utama timbulnya konflik lingkungan.
1. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari konsep bahwa lingkungan adalah sebuah sistem yang dapat mengalami kerusakan pada waktu dan bagian tertentu, sehingga banyak terjadi eksploitasi dan monopoli terhadap lingkungan.
2. Lingkungan bersifat common resources, dimana akan terjadi terik menarik kewenangan dan tanggungjawab antara pihak-pihak yang terkait dan yang berpotensi untuk terlibat.
3. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari regulasi yang mengatur tata cara pengelolaan lingkungan tersebut.
4. Bersifat scarcity, dimana pada waktunya nanti akan terjadi suatu kelangkaan sehingga muncul berbagai keinginan dari berbagai pihak yang cenderung untuk menguasai
5. Konsep lingkungan yang hanya dipandang pada koridor ekonomi saja, dimana pada dasarnya lingkungan juga memiliki fungsi sebagai identitas sosial
Peran Pemerintah : DPRD dan Dewan Evaluasi Kota
Secara umum, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki peran yang mengacu pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 (Pasal 10) kewajiban pemerintah adalah :
a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup
b. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
c. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup
d. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
e. Mengembangkan dan mengembangkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya
tampung lingkunagn hidup
f. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup
g. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup
h. Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
i. Memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup

1) Pengembangan Sistem yang Responsif
1) Perubahan sikap ; masyarakat miskin didorong, dibimbing dan dibantu kearah perilaku prososial yang normatif. 
2) Peningkatan partisipasi sosial; Masyarakat yang merupakan sasarankebijakan kesempatan turut berpartisipasi, bukan saja dalam hal mengambil keputusan-keputusan khusus, tetapi jugadalam hal merumuskan definisi situasi yang merupakan dasar dalam pengambilan keputusan. Sehingga arahpembangunan menjadi berpihak pada masyarakat khususnya masyarakat miskin. 
3) Solidaritas sosial ; pemberdayaan sosial mampu menciptakan suatu kondisi atau keadaan hubungan antara individu/kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. 
4) Peningkatan kondisi ekonomi warga masyarakat ; melalui pemberdayaan sosial diharapkan terjadi peningkatan kondisi ekonomi dan peningkatan pendapatan warga khususnya warga miskin. 
5) Peningkatan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga miskin ; lembaga keluarga miskin adalah juga sasaran pokok dalam pengentasan kemiskinan yang tujuannya untuk mengembalikan fungsi keluarga yang diharapkan, dimana fungsi ini semakin memudar seiring dengan ketidakmampuan menampilkan fungsi sosial warga miskin. 
6) Perubahan orientasi nilai budaya ; dari keseluruhan aspek pemberdayaan dalam rangka pengentasan kemiskinan, maka perubahan orientasi nilai budaya menjadi muaranya yang tentunya memerlukan proses yang tidak mudah. Perubahan dari sifat warga miskin seperti, apatis, malas, masa bodoh, menghalalkan segala cara, menuju pada orientasi nilai budaya yang prososial menjadi tujuan utama pada pengentasan kemiskinan.

2) Pemanfaatan Modal Sosial
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 6 tahun 2005, DPRD secara mendasar memiliki fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. DPRD memiliki wewenang untuk membentuk Perda dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam konteks pengelolaan lingkingan, pihak DPRD diharapkan dapat membuat berbagai regulasi yang dituangkan dalam bentuk Perda ataupun peraturan perundang-undangan dimana pembentukan peraturan tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang berbasis pada sustainibility dan partisipatif. Hal ini menjadi dasar yang sangat penting mengingat pengelolaan lingkungan yang berbasis pada kosep tersebut dapat meminimalisasi terjadi konflik khususnya konflik dalam pengelolaan lingkungan.
Secara lebih spesifik, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki berbagai peran yang berada pada tataran kebijakan dan fasilitasi. Dalam hal ini DPRD dan Dewan Evaluasi Kota diharapkan dapat berperan sebagai :
1. Regulator dalam pembuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup.
2. Mediator multi stakeholders, dimana berfungsi memfasilitasi stakeholders lain (masyarakat dan dunia usaha) dalam usaha melakukan pengelolaan lingkungan yang
3. baik dan berkelanjutan
4. Sebagai mitra dari eksekutif dan legislatif untuk melakukan evaluasi atas berbagai kebijakan pembangunan lingkungan di suatu daerah
5. Menyiapkan rekomendasi atas berbagai temuan masalah dan hasil evaluasi
yang dilakukan
Selain hal tersebut diatas, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota juga harus berada pada koridor konsep environmental leadership dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota sebaiknya dapat membangun kesadaran kritis terhadap isu-isu lingkungan, memotivasi dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aksi. Hal ini mengartikan sejauh mana orang mempunyai pemahaman yang koperhensif beta pentingnya menjaga lingkungan, agar lingkungan itu kondusif buat generasi selanjutnya sepanjang masa, ini terkait kepada tingkatan DPRD dan Dewan Evaluasi Kota adalah pada pengambil kebijakan, sehingga diharapkan segala regulasi yang dibentuk dapat benar-benar dibentuk sinergis dengan berbagai elemen stakeholders. Perlu juga menjadi perhatian bahwa untuk mewujudkan konsep environmental leadership, harus didukung oeh suatu sistem yang benar-benar kondusif sehingga peningkatan kapasitas dapat dilakukan seiring dengan perbaikan sistem.
Implikasi Konseptual Terdapat urgensi untuk menggusur cara pandang yang antroposentris. Hal ini relevan meningat beberapa hal berikut ini. Pertama, bahwa lingkungan hidup tidak semestinya diperlakukan sebagai benda yang independent. Lingkungan hidup tidak cukup difahami semata-mata sebagai realita bio-fisik. Bekerjanya sistem bio-fisik (ekosistem) memiliki pengaruh tertentu terhadap bekerjanya sistem sosial. Sebaliknya, bekerjanya sistem sosial mempengaruhi proses bio-fisik yang terkait. Oleh karena itu, lingkungan hidup perlu senantiasa difahami kaitannya dengan masyarakat yang berinteraksi dengannya. Artinya:
• Yang perlu di-manage bukan hanya lingkungan sebagai entitas bio-fisik tersebut, namun juga pola interaksi sosial yang berlangsung.
• Yang perlu dicermati bukan hanya perubahan kondisi bio-fisik lingkungan, namun juga bekerjanya sistem-sitem sosial yang berlangsung.

Kedua, kemajuan peradaban berjalan seiring dengan kemampuan untuk mengubah kondisi alam (lingkungan bio-fisik). Perkembangan kehidupan masuarakat yang semakin modern berjalan seiring dengan pola konsumsi sumberdaya alam yang semakin tinggi, dan penciptaan limbah yang semakin besar. Modernitas membawa kehidupan yang secara sistemik semakin riskan. Pada saat yang sama, tata kehidupan modern semakin mengandalkan pada bekerjanya tatanan yang sifatnya terlembaga, terbakukan secara struktural dan membudaya. Kehidupan modern hanya bisa berlanjut ketika ditunjang oleh suatu bentuk ketahanan sistemik. Ini berarti bahwa, kerentanan pada tataan sistemik bisa meruntuhkan sistem sosial maupun sistem bio-fisik (ekosistem). Oleh karena pertimbangan di atas itulah maka diyakini bahwa, kunci dari pengelolaan lingkungan adalah pengelolaan pola interaksi sosial.
Ketiga, interaksi sosial sejauh memiliki bentuk yang beraneka ragam. Sungguhpun demikian, pola interaksi yang ada pada dasarnya bisa dipetakan coraknya. Ada corak yang sangat mengandalkan konsistensi hierarkhis di satu ekstrim, dan ata corak yang sangat mengandalkan mekanisme transaksi suka rela. Pola interaksi yang pertama sangat jelas terlihat pada bekerjanya birokrasi pemerintahan, dan pola yang lain kita kenal sebagai mekanisme pasar.
• Birokrasi bekerja atas dasar perintah yang ditentukan dari atasan atau fihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi. Bekerjanya sistem yang birokratis sangat ditentukan oleh kepatuhan terhadap yang telah dirumuskan secara hierarkhis.
• Mekanisme pasar pada hakekatnya adalah mekanisme transaksi suka sama suka. Melalui pertukaran (exchange) antara yang kelebihan dengan yang kekurangan, atau
antara pemasok dan pembeli berlangsung. Poin yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh bekerjanya mekanisme pasar maupun bekerjanya birokrasi pemerintahan. Ini berarti bahwa, titik strategis dalam pengelolaan lingkungan adalah pencermatan terhadap bekerjanua mekanisme pasar maupun bekerjanya mesin pemerintahan.

Keempat, ‘negara’ dan ‘pasar’ adalah mekanisme yang secara alamiah telah terpola dalam kehidupan sehari-hari. Pengamatan sejauh ini memperlihatkan bahwa kebijakan negara sangat sensitif terhadap sentimen pasar, dan sebaliknya sentimen pasar sangat mengkondisikan apa yang akan diputuhkan oleh pejabat. Oleh karena itu, yang menjadi persoalan terpenting bukan memilih interaksi yang dilakukan birokrasi namun juga interaksi sosial yang berdasar mekanisme pasar. ‘Negara’ dan ‘pasar’ bukanlah pilihan, melainkan pola yang harus dicermati dan dikelola. Di masa lalu, ketika yang menjadi kepedulian adalah peran negara maka yang menjadi kerangka fikir adalah apa yang harus dilakukan oleh negara dalam pengelolaan lingkungan hidup. Nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh kemampuan negara. Seiring dengan semakin dominannya pola interaksi berbasis pasar dalam kehidupan sehari-hari maka wacana yang berkembang mengalami pergeseran, dari ‘government’ ke ‘governance’. Yang dipentingkan bukan agency yang terlibat namun juga interaksi antar agency tersebut.
Sehubungan dengan point keempat tersebut di atas, perlu kiranya dicermati adanya kecenderungan untuk mengedepankan peranan pasar dalam memahami good governance. Sebagai contoh, good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang tidak didominasi pemerintah melainkan pemerintahan yang partisipatif. Pemerintahan yang baik adalah yang akuntabel, bukan hanya memuaskan dirinya sendiri. Dalam bentuk seperti inilah wacana good governance erat kaitannya dengan pelembagaan format a la neo-liberal. Format yang diiedealkan adalah yang kuat namun lingkupannya hanya pada hal-hal yang tidak bisa dikelola oleh aktor-aktor non negara. Pembahasan sekelumit tentang wacana good governance tersebut di atas memang relevan mengingat negara justru bermasalah ketika mengemban tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hanya saja, tidak ada kita juga harus ingat bahwa pengurangan peran pemerintah tidak menjanjikan apa-apa kalau masyarakat juga memiliki kesalahan yang sama dengan pememrintah: berfikir etnosentrik ataupun teknosentrik. Implikasi Praktis. Sebetulnya tidak fair kalau dikatakan bahwa upaya untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup selama ini tidak membuahkan hasil sama sekali. Yang sebetulnya terjadi adalah, kemapuan untuk mengatasi persoalan lingkungan tidak diikuti dengan penghentian kecenderungan destruktif: seperti pola konsumsi sumberdaya alam yang terus meningkat dan bahkan semakin boros seiring dengan tingkat kesejahteraan yang dicapai. Sehubungan dengan hal itu, maka pengembangan etika dan etos yang konsisten dengan kepentingan lingkungan menjadi keharusan yang tidak bisa di tawar. Kalau toh pengelolaan lingkungan hidup harus mengandalkan mekanisme pasar, pada pelaku pasar tersebut perlu mengadopsi etika lingkungan sedemikian sehingga transaksi-transaksi yang terjadi hanya dilakukan di atas kepatuhan terhadap spirit ekologis. Paralel dengan hal itu, para pejabat negara bisa mengemban amanat pengelolaan lingkungan hidup dibalik setiap keputusan yang diambilnnya sekiranya mereka juga mengadopsi etika lingkungan.
Pertama, issue sentral dalam pemikiran dan pengembangan governance adalah kesadaran akan adanya keterkaitan berbagai fihak. Sehubungan dengan hal itu, maka kesadaran tentang sistem merupakan persoalan sentral. Perlu diingat, yang harus disadarkan tentang bekerjanya sistem bukan hanya masyarakat awam melainkan justru para aktor strategis: pejabat, pengusana, teknokrat dan tokoh-tokoh yang lain.
Kedua, kalau kita ingin tetap memakai framework managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup, koordinasi merupakan titik strategis dalam pengembangan environmental governance. Hanya saja, perlu dicatat bahwa koordinasi tidak cukup melibatkan aparat birokrasi atau para manager, melainkan melibatkan seluas mungkin stake holder. Untuk itu, mari kita cermati contoh kasus berikut ini.

3) Pemanfaatan Institusi Sosial
Sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum, oleh sebab itu dalam bagian ini akan dikemukakan hal yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan. Dengan pesatnya pembangunan nasional ang dilaksanakan yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ada beberapa sisi lemah, yang menonjol antara lain adalah tidak diimbangi ketaatan aturan oleh pelaku pembangunan atau sering mengabaikan landasan aturan yang mestinya sebagai pegangan untuk dipedomani dalam melaksanakan dan mengelola usaha dan atau kegiatannya, khususnya menyangkut bidang sosial dan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan.
Oleh karena itu, sesuai dengan rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilakukan meningkatkan kualitas lingkungan melalui upaya pengembangan sistem hukum, instrumen hukum, penaatan dan penegakan hukum termasuk instrumen alternatif, serta upaya rehabilitasi lingkungan. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup khususnya permasalahan kebijakan dan penegakan hukum yang merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup di daerah dapat meliputi :
• Regulasi Perda tentang Lingkungan.
• Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup.
• Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan
• Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup.
• Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders
• Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan.
• Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
• Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, sedangkan yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu ada kecenderungan terjadi penurunan kualitasnya, penyebab utamanya yaitu karena pada tingkat pengambilan keputusan, kepentingan pelestarian sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan ternyata juga menimbulkan konflik sosial maupun konflik lingkungan.
Dengan berbagai permasalahan tersebut diperlukan perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang No.4 Tahun 1982.
Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undang-undang No 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaanya.Undang-undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti Undang-undang No. 22 Th 2001 tentang Gas dan Bumi, UU No. 41 Th 1999 tentang kehutanan, UU No. 24 Th 1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah maupun Keputusan Gubernur.
A) Organisasi Masyarakat
Peran serta masayarakat dalam pembangunan sudah muncul sejak diberlakukannya UUD 1945 dan secara konstitusional telah memiliki acuan yang jelas dan merupakan kewajiban bagi siapapun yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Dalam GBHN pembangunan nasional juga telah menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup secara bertahap pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki negara dilakukan secara bijaksana sebagai landasan pembangunan tahap berikutnya. Oleh sebab itu peningkatan peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam pembangunan termasuk dalam proses perencanaan dan pelaksanaan terutama yang menyangkut secara langsung kehidupan dan masa depan mereka. Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup juga menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 5 ayat 1). Serta mempunyai hak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pasal berikutnya menengaskan bahwa setiap orang juga berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup (Pasal 6). Peranan informasi dalam pengelolaan lingkungan sangat penting oleh karena itu setiap orang juga berhak atas dan berkewajiban untuk memberikan informasi tentang lingkungan hidup yang benar dan akurat. Ada tiga hal utama yang harus dilihat sebagai pesan konstitusional dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia, (1) bahwa pengelolaan sumberdaya alam Indonesia haruslah dilihatsebagai upaya untuk memenuhi kepentinganmayoritas rakyat Indonesia; (2) bahwa pemerintah harus berperan aktif dalam pengaturan pengelolaan sumberdaya alam sebagai manifestasi penguasaan Negara terhadap sumberdaya alam; (3) bahwa rakyat dijamin haknya tidak saja untuk berperan serta dalam pengelolaan sumberdaya alam tetapi juga dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah sebagai lembaga yang telah dimudahkan untuk melakukan pengaturan. Pengalaman selama Indonesia berada dibawah cengkraman orde baru telah membuktikan, bahwa pengingkaran terhadap ketiga hal utama dalam konstitusional ini telah memunculkan persoalan besar terhadap lingkungan hidup Indonesia. Perusakan lingkungan hidup dan pengurasan sumberdaya alam nyaris tidak terkontrol dan disisi lainnya peran serta masyarakat mengalami distorsi yang terus menerus melalui rekayasa berbagai peraturan dan surat keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Proses perusakan lingkungan hidup dan pengurasan sumberdaya alam berjalan seiring dengan dikesampingkannya peran serta rakyat. Kontrol sosial yang datang dari luar lingkaran elit (politik dan ekonomi) selama lebih dari 30 tahun kekuasaan orde baru cenderung untuk didiskriminalisasikan tentu saja merupakan pengingkaran terhadap realitas sosial Indonesia. Pemerintah harus merespon serta mengakomodir aspirasi dari reformasi dengan cara memberanikan diri untuk mengundang public debate serta substansi peraturan perundangan harus berorientasi pada keterbukaan dan pemberdayaan masyarakat sipil.

B) Organisasi Swasta
Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. Di dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai fihak, serta ketegasan dalam penaatan hukum lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi barbagai pihak dan pengawasan serta penaatan hukum yang betul-betul dapat ditegakkan, dapat dijadikan acuan bersama untuk mengelola lingkungan hidup dengan cara yang bijaksana sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan betul-betul dapat diimplementasikan di lapangan dan tidak berhenti pada slogan semata. Namun demikian fakta di lapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu, ditunjukkan beberapa fakta di lapangan yang dapat diamati. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut.
• Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimbahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, hidup, demikian juga ego sektor. Pengelolaan lingkungan hidup sering dilaksanakan overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain Tumpang tindih perencanaan antar sektor. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain
• Pandanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan lingkungan hidup, diperparah lagi tidak adanya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.
• Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumberdaya yang mumpuni. Sumberdaya manusia seringkali masih belum mendukung. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya lingkungan hidup.
• Eksploitasi sumberdaya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumberdaya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Walaupun kenyataannya tidak demikian; eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, aspek lingkungan hidup yang seharusnya, kenyataannya banyak diabaikan. Fakta menunjukkan bahwa tidak terjadi keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup masih belum mendapatkan porsi yang semestinya.
• Lemahnya implementasi paraturan perundangan. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, cukup banyak, tetapi dalam implementasinya masih lemah. Ada beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya.
• Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Berkaitan dengan implementasi peraturan perundangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, perusakan lingkungan), namun sangat lemah didalam pemberian sanksi hukum.
• Pemahaman masyarakat tentang lingkungan hidup. Pemahaman dan kesadaran akan pentingnya lingkungan hidup sebagian masyarakat masih lemah dan hal ini, perlu ditingkatkan. Tidak hanya masyarakat golongan bawah, tetapi dapat juga masyarakat golongan menegah ke atas, bahkan yang berpendidikan tinggi pun masih kurang kesadarannya tentang lingkungan hidup.
• Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
Perlu dicatat bahwa sebetulnya di tiap-tiap daerah terdapat kearifan lokal yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun-temurun. Tentu saja masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi di daerah-daerah otonom yang hampir tidak mungkin untuk diidentifakasi satu per satu, yang kesemuanya ini timbul akibat “pembangunan” di daerah yang pada intinya ingin mensejahterakan masyarakat, dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dengan fakta di atas maka akan timbul pertanyaan, apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan kita. Apakah kondisi lingkungan kita dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah jelek? Hal ini sangat diperkuat dengan fakta seringnya terjadi bencana alam baik tsunami, gempabumi, banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan lumpur dan bencana alam lain yang menyebabkan lingkungan kita menjadi turun kualitasnya. Tentu saja tidak ada yang mengharapkan itu semua terjadi. Sebagian bencana alam juga disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri 

C) Optimalisasi Konstribusi Dalam Pelayanan Sosial
Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:
• Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
• Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
• Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
• Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :
1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam. Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup. Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.

D) Kerjasama dan Jaringan
Kerjasama baik di dalam negeri maupun Luar negeri sangat dibutuhkan. Kerjasama di dalam negeri dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan LSM – LSM yang bergerak dibidan lingkungan hidup dan tersebar diseluruh pelosok tanah air selain itu dengan Departemen maupun non Departemen baik dalam lingkup lokal maupun nasional. Seperti Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), Bappenas, BPTT, Pemda daerah dsb. Kerjasama internasional dapat dilakukan dengan cara menjalin hubungan multilateral antar negara – negara mapun antar LSM – LSM dari suatu negara dengan negara lain.

Bab V
Upaya Penanganan Masalah
Mengingat penanganan masalah lingkungan yang setiap tahun selalu terjadi maka usulan pengelolaan yang direkomendasikan, adalah :
  • Melakukan revitalisasi
  • Meningkatan ketrampilan masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah lingkungan melalui pelatihan-pelatihan,
  • Meningkatkan sarana dan prasarana penanggulangan masalah lingkungan bagi masyarakat,
  • Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan dampak lingkungan melalui sosialisas
  • Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengolahan lahan yang diarahkan pada pertanian tanpa bakar melalui praktek lapangan secara langsung di sekolah lapangan,
  • Pengembangan komoditi pertanian yang cocok dan sesuai dengan kondisi lahan gambut, serta
  • Membangun koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan lingkungan
  • Meningkatkan koordinasi antar instansi pemerintah terkait dalam penanganan lingkungan
  • pengintegrasian antara pertanian dengan peternakan
  • menetapan sistem zonasi pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan budidaya pertanian.
Penutup
Kesimpulan
A.  Aspek Hukum Administrasi Negara
Pada tahap “pengawasan ketaatan” dilaksanakan oleh Menteri, wewenang ini selanjutnya dapat diserahkan pada Pemerintah Daerah (Pasal 22 UUPLH 1997), baik kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, maupun kepada Bupati/Walikota Madya/ kepala Dati II. Selanjutnya Pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa selain wewenang pengawasan, Pemda juga berwenang melakukan paksaan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk:
1. Mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran;
2. Menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran;
3. Melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/ atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Tujuan utama pengelolaan lingkungan hidup antara lain adalah terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu perencana kegiatan sejak awal sudah harus memperkirakan perubahan rona lingkungan akibat pembentukan suatu kodisi yang merugikan akibat diselenggarakannya pembangunan.
Mengingat penanganan masalah lingkungan yang setiap tahun selalu terjadi maka usulan pengelolaan yang direkomendasikan, adalah :
  • Melakukan revitalisasi
  • Meningkatan ketrampilan masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah lingkungan melalui pelatihan-pelatihan,
  • Meningkatkan sarana dan prasarana penanggulangan masalah lingkungan bagi masyarakat,
  • Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan dampak lingkungan melalui sosialisas
  • Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengolahan lahan yang diarahkan pada pertanian tanpa bakar melalui praktek lapangan secara langsung di sekolah lapangan,
  • Pengembangan komoditi pertanian yang cocok dan sesuai dengan kondisi lahan gambut, serta
  • Membangun koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan lingkungan
  • Meningkatkan koordinasi antar instansi pemerintah terkait dalam penanganan lingkungan
  • pengintegrasian antara pertanian dengan peternakan

2 comments:

Tamtama Angkatan '86 said...

mari kita jaga keseimbangan alam bro...

Unknown said...

"KHASANAH ILMU"

KUMPULAN MAKALAH LENGKAP
JUJUR-MUDAH-MURAH

http://khasanahilmuu.blogspot.com/2013/08/makalah.html

Post a Comment

Warning !! Silahkan Copy paste asal tetap mencantumkan URL/Link Blog sebagai sumbernya. Powered by Blogger.