Thursday, November 29, 2012

RESUME PUTUSAN

RESUME PUTUSAN

1. Definisi Putusan
Setelah hakim mengetahui duduknya perkara yang sebenarnya, maka pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai. Kemudian dijatuhkan putusan. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis(vonnis). Mahkamah Agung dengan surat edarannya no.5/1959 tanggal 20 April 1959 dan no.1/1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan konsep putusan harus sudah selesai. Maksud tujuan surat edaran ini ialah untuk mencegah hambatan dalam penyelesaian perkara, tetapi dapat dicegah pula adanya perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis. Jikalau ternyata ada perbedaan isi putusan yang diucapkan dengan yang ditulis, maka yang sah adalah yang diucapkan yaitu lahirnya putusan itu sejak diucapkan.
Akan tetapi, putusan hakim bukanlah satu-satunya bentuk untuk menyelesaikan perkara. Disamping putusan hakim masih ada penetapan hakim. penyelesain perkara dalam peradilan contentieus disebutputusan sedangkan penyelesaian perkara dalam peradilanvol untai r disebutpenetapan.

Kekuatan Putusan HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan.
1. Kekuatan mengikat Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelsesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya.Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak- pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat kedua belah pihak (ps.1917 BW). Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.
a. teori hukum materiil
Menurut teori ini maka kekuatan mengikat daripada putusan yang lazimnya disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan:
menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidaklah tepat.
b. teori hukum acara
Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil, melainkan sumber daripada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil.
c. teori hukum pembuktian
Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan terikatnya para pihak pada putusan.
Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan dapat pula mempunyai arti negatif. Arti positifnya yaitu apa yang telah diputus diantara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar atau res judicato pro veriate habetur. Sedangkan dalam arti negatif yaitu hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama (nebis in idem). Kecuali didasarkan pada asas “litis finiri oportet” yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum, maksudnya yaitu apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim.
e. kekuatan hukum yang pasti
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (krach van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa ialah perlawanan, banding, dankasasi . Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civildan perlawanan oleh pihak ketiga. Pasal 1917 ayat 1 BW berbunyi, bahwa kekuatan mengikat daripada putusan itu terbatas pada pokok putusan (onderwerp van het vonnis). Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah mengconstair suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.
Telah dikemukakan di muka bahwa pada asasnya putusan hakim hanyalah mengikat para pihak (ps.1917 BW). Yang dimaksudkan dengan pihak bukanlah hanya penggugat dan tergugat saja, tetapi juga pihak ketiga yang ikut serta dalam suatu sengketa antara penggugat dan tergugat, baik dengan jalan interventie maupun pembebasan (vrijwaring) atau mereka yang diwakili dalam proses. Terhadap pihak ketiga putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Tetapi pihak ketiga ini dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (ps.378 Rv). Dalam hal ini perlu mendapat perhatian bahwa hanya pihak ketiga yang dirugikan oleh putusan itulah yang dapat mengajukan perlawanan.

Kekuatan Pembuktian
Dituangkan putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi, atau pelaksanaannya. Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan putusan itu telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu. Pasal 1918 dan 1919 BW mengatur tentang kekuatan pembuktian putusan pidana. Putusan pidana yang isinya menghukum dan telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata mengenai peristiwa yang telah terjadi, kecuali apabila ada bukti lawan: kekuatan pembuktiannya mengikat (ps.1918 BW).
Putusan perdata pun mempunyai kekuatan pembuktian. Menurut pasal 1916 ayat 2 no.3 BW maka putusan hakim adalahpersangkaan. Putusan hakim merupakan persangkaan bahwa isinya benar: apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata proveritate habetur). Hakim mempunyai kebebasan untuk menggunakan kekuatan pembuktian putusan terdahulu. Putusan verstek tidak atau sama sekali tidak mempunyai nilai untuk mengikat.
3. Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.

Susunan dan Isi Putusan
Suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu:
1.kepala putusan;
2. identitas para pihak
3. pertimbangan
4. amar

Jenis-jenis Putusan
Pasal 185 ayat 1 HIR membedakan antara putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir. Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan (constitutif) dan ada pula yang bersifat menerangkan atau menyatakan (declaratoir).
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Dalam putusan condemnatoir diakui hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Hukuman semacam itu hanya terjadi berhubung dengan perikatan yang bersumber pada persetujuan atau undang- undang, yang prestasinya dapat terdiri dari memberi, berbuat, dan tidak berbuat.
Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, pengangkatan wali, pemberian pengampunan, pernyataan pailit, pemutusan perjanjian (ps.1266, 1267) dan sebagainya. Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Juga tiap putusan yang bersifat menolak gugatan merupakan putusan declaratoir.
Pada hakekatnya semua putusan yang condemnatoir maupun yang constitutif bersifat declaratoir. Disamping putusan akhir masih dikenal putusan yang bukan putusan akhir atau disebut juga putusan sela atau putusan antara, yang fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara. Putusan sela ini menurut pasal 185 ayat 1 HIR sekalipun harus diucapkan di dalam persidangan tidak dibuat secara terpisah, tetapi ditulis dalam berita acara persidangan. Disamping pasal 185 ayat 1 HIR yang membedakan antara putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir, pasal 48 Rv membedakan antara putusan praeparatoir danputusan interlocutoir.
Putusan praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruh atas pokok perkara atau putusan akhir. Contohnya yaitu putusan untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi.
Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Kalau putusan praeparatoir tidak mempengaruhi putusan akhir, maka putusan interlocutoir ini dapat mempengaruhi putusan akhir.
Rv masih mengenal 2 putusan lainnya yang bukan putusan akhir, yaitu putusan insidentildan putusan provisionil (ps.332 Rv). Putusan Insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan insiden, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa. Putusan insidentil ini belum berhubungan dengan pokok perkara. Sedangkan putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.

Upaya Hukum terhadap Putusan
1. Perlawanan (verzet)
2. Banding
3. Prorogasi
4. Kasasi
5. Peninjauan Kembali (PK)
6. Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet)


Thanks to : Fika Triwulandari

0 comments:

Post a Comment

Warning !! Silahkan Copy paste asal tetap mencantumkan URL/Link Blog sebagai sumbernya. Powered by Blogger.